Beberapa hari terakhir ini kita banyak mendengar pemberitaan mengenai polusi udara khususnya asap yang disebabkan kebakaran lahan maupun hutan. Ada yang tidak disengaja, juga tentu banyak yang disengaja. Untuk yang disengaja, tentu akan beimplikasi pada tindakan hukum yang diterapkan pada pelaku pembakaran. Baik itu kepada orang-perorangan maupun pada perusahaan ataupun korporasi. Bahkan jika kitaupdate pemberitaan, pihak Kepolisian telah menetapkan banyak orang dan beberapa perusahaan atau korporasi sebagai tersangka pembakaran hutan atau lahan. Presiden Joko Widodo pun telah memberi ultimatum agar para penegak hukum dan aparatur di daerah sungguh-sungguh bekerja mengatasi hal ini.
Ternyata mengenai asap ini, tidak hanya dalam negeri (Pulau Sumatera dan Kalimantan) saja yang merasakan dampaknya, akan tetapi Negara tetangga pun ikut mengeluh terkena dampak asap tersebut. Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun, tetapi cerita yang sama selalu terjadi berulang kali. Tentu banyak faktor yang membuat masalah ini. Mulai dari musim kemarau yang panjang, perilaku sebagian masyarakat maupun perilaku sebagian korporasi, sampai pada penegakan hukum yang belum memadai. Sebelumnya, sangat jarang kita mendengar adanya pelaku kejahatan (individu maupun korporasi) terhadap lingkungan diproses secara hukum. Padahal dampaknya mengancam jutaan masyarakat. Tetapi itu dulu, saat ini penegakan hukum sudah dan akan terus diterapkan.
Mengenai perusahaan atau korporasi tentu tidak memiliki sikap batin (mens rea). Padahal sikap batin (mens rea) ini diperlukan untuk dapat dikenakan sanksi hukum kepadanya. Melalui artikel sederhana ini, penulis ingin memberikan gambaran dapatkah suatu korporasi dimintai pertanggungajawaban pidana terhadap perbuatan jahatnya berdasarkan suatu doktrin yang berkembang dalam dunia hukum.
Persoalan Hukum
Pada pelaku yang merupakan orang-perseorangan tentu penerapan dan penegakan hukum tidak menjadi soal. Bagaimana dengan korporasi? Bukankah korporasi tidak memiliki sikap batin (mens rea)? Sesuai dengan perkembangan zaman, hukum pun telah berkembang pula. Sehubungan dengan berbagai kerusakan yang besar juga merugikan banyak orang akibat ulah korporasi, maka tidak hanya “orang-orang” dalam korporasi yang bisa dihukum, akan tetapi korporasinya juga dapat dihukum baik secara perdata maupun pidana!
Mengenai sikap batin yang tidak dimiliki oleh korporasi, maka perkembangan hukum pun telah berkembang. Dalam hal ini ada yang disebut doctrine of strict liability, Menurut Prof. Sutan Remy Sjahdeni doktrin ini bermakna pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan/mens rea (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Maka, masih menurut Prof Remy “dalam kaitannya dengan korporasi”, maka korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana untuk tindak pidana yang tidak dipersyaratkan adanyamens rea berdasarkan doktrin strict liability. Jadi, tidak diperlukan lagi pembuktian mengenai sengaja atau tidak sengaja melakukan. Apabila korporasi tersebut melakukan maka langsung dihukum menggunakan doktrin ini.
Lalu, apa saja jenis pertanggungjawaban pidana yang dapat dikenakan terhadap korporasi? Maka, penting untuk melihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan. Ini merupakan kewajiban dari penegak hukum kita dan pembuat aturan. Akan tetapi, ada baiknya jika korporasi yang melakukan tindak pidana tersebut diumumkan ke publik sebagai shock terapi sekaligus efek jera. Juga kepada Lembaga terkait untuk “mencabut” izin korporasi tersebut. Pencabutan izin merupakan hukuman mati bagi korporasi. Hal ini guna mencegah peristiwa yang sama terjadi berulang. Tentunya dengan sudah melakukan kajian-kajian sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan dengan mengedepankan kepentingan publik.
Juga, ada masukan yang menarik di media akhir-akhir ini (instagram Jansen Sitindaon), yaitu dibuat aturan bahwa lahan yang terbakar tidak bisa dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun sejak kebakaran. Yang ketahuan menggunakannya jadi kebun dipenjara. Sehingga yang berniat membuka lahan dengan cara membakar akan berfikir.
Dampak Pada Pelayanan Publik
Banyak hal yang oleh karena asap ini pelayanan publik terganggu, bahkan cerita yang berujung pada kematian menjadi pelengkap dahsyatnya dampak dari asap ini. Cerita bayi atau anak kecil yang meninggal beberapa kali dapat kita temukan pada pemberitaan di media. Untuk hewan pun demikian adanya, banyak yang mati dan kehilangan tempat tinggal nya. Kemudian, untuk pelayanan publik, misalnya saja banyak maskapai yang menunda bahkan membatalkan keberangkatan penerbangannya. Untuk sekolah, beberapa sekolah meliburkan aktivitasnya. Pada kesehatan akan membuat banyak pihak yang terganggu kesehatannya dan menambah beban para perawat, bidan, mantri dan dokter dalam pekerjaannya. Dan banyak hal lainnya. Belum lagi citra Indonesia di mata Negara sahabat dan dunia. Maka, semua pihak bersama-sama harus bergandengan tangan untuk mengatasi permasalahan ini. Jangan ada lagi ego sektoral. Untuk kita untuk Indonesia.
Alfero Septiawan
Asisten Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Timur