Jakarta, (desanews.id) Presiden Jokowi di Istana Negara, menyerahkan surat keputusan hak lahan secara simbolis, sebagian mengikuti lewat daring. Rinciannya, hutan sosial seluas 3.442.460,20 hektar bagi 651.568 keluarga, hutan adat 37.526 hektar, dan TORA 72.074,81 hektar. Ia tersebar di 30 provinsi di Indonesia dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara sampai Papua dan Papua Barat.
Presiden Joko Widodo bilang, tak ingin penyerahan SK kepada masyarakat ini hanya bersifat seremonial belaka, tetapi harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat penerima dan pengelola lahan hutan, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hutan.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta gubernur turut berperan aktif memfasilitasi, menetapkan, dan mengarahkan program dan kebijakan yang mendukung reforma agraria ini. Termasuk untuk proses dasar hukum masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah (perda).
Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN khawatir, kalau hanya kerja-kerja biasa, penetapan hutan adat bakal tak ada perubahan berarti. Untuk itu, perlu ada penyederhanaan meknisme dalam penetapan hutan adat.
“Saya menyerahkan 2.929 surat keputusan pengelolaan hutan sosial, hutan adat, dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) di seluruh Indonesia hari ini di Istana Negara,” begitu status Presiden Joko Widodo, dalam akun resmi Facebook, Kamis sore (7/1/20)
Pada pagi hari ketujuh awal tahun ini, di Istana Negara, presiden menyerahkan surat keputusan hak lahan secara simbolis, sebagian mengikuti lewat daring. Rinciannya, hutan sosial seluas 3.442.460,20 hektar bagi 651.568 keluarga, hutan adat 37.526 hektar, dan TORA 72.074,81 hektar. Ia tersebar di 30 provinsi di Indonesia dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara sampai Papua dan Papua Barat.
Penyerahan SK ini, kata Jokowi, bagian dari kebijakan redistribusi aset dan reforma agraria yang berjalan lima tahun terakhir. Tujuannya, mengurangi ketimpangan ekonomi dan jadi satu jawaban bagi banyak sengketa agraria.
“Ini menjadi salah satu jawaban atas sengketa-sengketa agraria, yang ada baik itu antara masyarakat dengan perusahaan atau antar masyarakat dengan pemerintah,” kata Jokowi dikutip dari situs resmi sekretaris Kabinet Rabu (10/2/2021)
Presiden bilang, tak ingin penyerahan SK kepada masyarakat ini hanya bersifat seremonial belaka, tetapi harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat penerima dan pengelola lahan hutan, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hutan.
Dia bilang, masyarakat dapat menanam tanaman produktif yang memiliki nilai ekonomi, sesuai dengan daerah masing-masing. Pola-pola bisnis yang bisa dipakai, katanya, antara lain, agroforestri, ekowisata, agrosilvopastura, bio energi, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan industri kayu rakyat.
Presiden meminta, kelompok usaha perhutanan sosial ini dibantu akses permodalan, terutama kredit usaha rakyat (KUR). Selain itu, pemerintah daerah juga diminta berikan pendampingan pada kelompok usaha perhutanan sosial baik manajemen maupun teknologi.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kesempatan itu menyampaikan, sampai Desember 2020 sudah terbit SK Perhutanan Sosial seluas 4.417.937,72 hektar, dengan 6.798 surat keputusan izin atau hak bagi 895.769 keluarga.
Sedang penyediaan kawasan hutan untuk sumber TORA, katanya, sekitar 2.768.362 hektar. Pelepasan kawasan hutan melalui perubahan batas untuk sumber TORA selesai 68 surat keputusan di 19 provinsi seluas 89.961,36 hektar dengan 39.584 penerima.
Khusus hutan adat—bagian dari perhutanan sosial–,katanya, telah ditetapkan 56.903 hektar dengan 75 komunitas atau 39.371 keluarga serta wilayah indikatif hutan adat seluas 1.090.754 hektar.
Senada Jokowi, Siti juga meminta gubernur turut berperan aktif memfasilitasi, menetapkan, dan mengarahkan program dan kebijakan yang mendukung reforma agraria ini. Termasuk untuk proses dasar hukum masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah (perda).
Siti bilang, dalam 2021, akan ada percepatan penyelesaian masalah-masalah dan konflik, persoalan pemukiman dalam kawasan hutan dan penyelesaian masalah-masalah hutan di wilayah padat penduduk seperti Jawa, Lampung, Bali dan provinsi lain.
Belum menyentuh
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengapreasi pengakuan hutan adat seluas 37.526 hektar kepada 35 komunitas itu. “Tapi ini relatif kecil. Jauh dari harapan,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan total pengakuan atas hutan adat seluas 94.426 hektar per Januari 2021 terdiri dari 110 surat keputusan.
Dalam periode pertama atau selama lima tahun ada sekitar 56.900 hektar bagi 75 komunitas adat. “Rata-rata luas penetapan hutan adat dalam lima tahun hanya 11.000 hektar per tahun. Sesuai permintaan Presiden Jokowi, semoga ada terobosan dan inovasi kebijakan untuk memastikan pencapaian target itu,” katanya.
Kalau hanya kerja-kerja biasa, Rukka khawatir penetapan hutan adat bakal tak ada perubahan berarti. Untuk itu, katanya, perlu ada penyederhanaan meknisme dalam penetapan hutan adat.
Selama ini, katanya, pemerintah pusat tidak proaktif dalam menggenjot penetapan itu. Terbit perda, surat keputusan bupati atau regulasi di daerah lain ada karena upaya dari masyarakat adat. “Kenapa angka realisasi kecil karena pemerintah hanya panen pekerjaan masyarakat.”
Belum lagi mekanisme lain yang harusnya berjalan sesuai Undang-undang Pokok Agraria, namun hingga kini tidak terlaksana, yakni, di Kementerian ATR/BPN. Hingga kini, pengakuan dan penetapan wilayah adat secara komunal belum berjalan.
Untuk itu, kata Rukka, penting ada UU masyarakat adat guna menyederhanakan persoalan-persoalan yang selama ini membuat proses menjadi lambat.
Selama ini, dia nilai, proses-proses pemberian hak wilayah atau hutan adat kepada masyarakat tak menjadi program prioritas, hanya sebatas ‘kosmetik’.
Agung Wibowo, Koordinator Perkumpulan HuMa menyayangkan, upaya-upaya baik ini belum menyentuh pada akar masalah. Perhutanan sosial yang memiliki tujuan dalam membangun masyarakat dari pinggiran dinilai jauh dari partisipasi publk.
“Skema perhutanan sosial, misal, hutan adat kan sejatinya mampu menyelesaikan konflik tenurial, masyarakat selalu dikriminalisasi yang tinggal di kawasan hutan. Harusnya skema ini memulihkan itu,” kata Agung.
Sayangnya, angka-angka yang dikabarkan melalui Istana dia nilai tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan konflik tenurial dan agraria laten. Meskipun begitu dia mengapresiasi ada peningkatan perhutanan sosial setiap tahun.
“Kalau dibilang perhutanan sosial itu untuk memulihkan kedaulatan masyarakat, menurut saya itu baru sebatas program kerja. ”
Penetapan-penetapan, baik skema perhutanan sosial maupun TORA dalam kawasan hutan selama ini dinilai berdasarkan proses pemerintah ke masyarakat (top down). Dia bilang, banyak usulan dari masyarakat malahan tidak jadi prioritas, padahal genting segera dilakukan.
“Berbicara pada reforma agraria dalam kawasan hutan, belum ada konsep bagaimana hak atas tanah disana, disini terbagi dalam ego sektoral, untuk wilayah hutan KLHK, tapi APL (area penggunaan lain) itu di ATR BPN.”
Belum lagi, katanya, penetapan SK selama ini tidak ditindaklanjuti dengan hak atas tanah dan dicatatkan oleh KATR/BPN.
Kalau bicara substansi pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial, katanya, seharusnya kebijakan-kebijakan ini mampu memberikan keadilan, kesejahteraan masyarakat, mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan.
Seriring kebijakan ini berjalan, katanya, penetapan itu terkesan sebatas selebrasi karena ada kebijakan kontradiktif, yakni UU Cipta Kerja. UU ini, katanya, sangat mengancam wilayah kelola masyarakat.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mengatakan, dalam enam tahun ini KLHK selalu mengeluarkan SK TORA namun itu bukan redistribusi lahan.
Dia bilang, ada kesalahpahaman soal penerbitan SK TORA yang dianggap sebagai realisasi, padahal mekanisme masih panjang.
“Banyak rencana TORA yang sudah rilis kemudian didentifikasi ke ATR/BPN, banyak wilayah yang tidak cocok untuk masyarakat untuk mendapatkan reforma agraria. Seringkali usulan masyarakat itu tidak cocok dengan apa yang dirilis oleh KLHK.”
Padahal, katanya, redistribusi lahan itu masuk dalam target pemerintah 4,1 juta hektar pelepasan kawasan hutan untuk reforma agraria.
Seringkali, kata Dewi, ada kesenjangan antara ketepatan obyek TORA yang ditetapkan KLHK melalui SK dengan pelaksanaan redistribusi lahan oleh KATR/BPN.
“Usulan kami, seharusnya itu dikerjakan bottom up.”
Sayangnya, realisasi TORA selama ini sebatas tanah sisa yang tidak layak dan produktif serta tak menyelesaikan masalah konflik di tingkat tapak. “Itu mengapa capaian reforma agraria dari kawasan hutan di ATR/BPN itu selalu rendah terus.”
Hal ini, katanya, karena ada masalah dalam mengidentifikasi wilayah-wilayah itu. Buntutnya, tidak akan menyelesaikan persoalan agraria dalam mengurangi ketimpangan, konflik agraria struktural, kemiskinan di pedesaan karena banyak petani burem juga tumpang tindih kawasan.
“Perlu ada keseriusan bahwa pekerjaan KLHK tidak hanya perhutanan sosial, tapi TORA. Ini kan persoalan apakah KLHK mau melepaskan wilayah teritorial yang selama ini dikuasai. Apakah KLHK mau mengakui ada kesalahan lampau selama ini yang dilakukan dengan penetapan-penetapan sepihak dan warisan zaman orde baru?”
Dia bilang, redistribusi lahan bisa menjadi jawaban atas sengketa agraria yang marak terjadi, baik antara masyarakat dengan perusahaan atau antara masyarakat dengan pemerintah. “Tapi apakah redistribusi aset selama ini sudah dijalankan dengan benar?”
Eko Cahyono dari Sajogjo Institute mengapresisasi penyerahan surat keputusan hutan sosial, termasuk hutan adat dan TORA ini. “Ini bagian menunjukkan komitmen politik. Kita senanglah untuk ini, reforma agraria dan masyarakat adat masuk kembali ke ranah kebijakan nasional,” katanya.
Meskipun begitu, dia menyoroti soal salah kaprah dasar paradigma kebijakan yang digunakan, termasuk dalam menentukan prioritas agenda reforma agraria dan perhutanan sosial ini.
“Perhutanan sosial itu jelas bukan reforma agraria. Ini rezim hak kelola. Mestinya yang dilakukan reforma agraria kehutanan, bukan perhutanan sosial,” kata Eko. Begitu juga penetapan hutan adat, katanya, merupakan tujuan pengakuan wilayah, tetapi jadi setengah tanpa mengakui pengetahuan adat.
Dia menilai, penyerahan SK ini sama seperti tahun lalu lebih pada “pemenuhan janji” prosedural demokrasi. “Nanti akan jadi jualan “politik agregat,” hanya kuantitatif.”
Menurut dia, hal paling mendasar perlu melihat, bagaimana mungkin menjalankan kebijakan yang berwatak “populis kerakyatan” seperti reforma agraria dan perhutanan sosial, termasuk hutan adat, tetapi seiring itu ada kebijakan kontra, seperti ada Omnibus Law, infrastruktur, investasi ekstraksi dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti ini, katanya, program reforma jalan, tetapi konflik agraria terus berlangsung. “Hutan adat jalan, tetapi kriminalisasi masyarakat adat jalan terus. Perhutanan jalan terus, deforestasi jalan terus.”
Untuk itu, katanya, penting mengecek ulang dengan pemberian surat keputusan itu sudah menjawab masalah reforma agraria dan masyarakat adat yang mana. Sebab, katanya, dimensi masalah struktural masih sering terabaikan, seperti ketimpangan agraria (penguasaan, kepemilikan, distribusi, pemanfaatan, dan akses) atas sumber-sumber agraria, kesenjangan, kemiskinan relasional, korupsi sumber daya alam dan lain-lain.
Eko juga khawatir, kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial yang berada dalam sistem neolib dan kapitalistik ini justru dibajak tujuan lain.
Tujuan lain seperti apa? Dia bilang, reforma agraria yang dominan legalisasi aset dan bank tanah, hanya jadi “kapitalisasi tanah.” Kemudian, hutan adat tanpa pengakuan pengetahuan adat hanya akan menguatkan rezim hutan negara. “Perhutanan sosial tanpa reforma agraria kehutanan hanya akan menguatkan rezim industri kehutanan,
(dn/jr1/jj2)