Menjelang akhir tahun yang di dalamnya terdapat Hari Raya Natal dan Tahun Baru, biasanya harga kebutuhan pokok akan naik drastis. Sesuatu yang sangat lazim terjadi. Ketika permintaan naik, maka harga pun ikut menyesuaikan. Tapi akhir tahun ini sangat berbeda. Pasalnya sudah 8 bulan Bumi Etam dihantam corona. Permintaan turun tak terkira. Bagaimana pasar tradisional bersikap?
TIM redaksi DesaNews.ID turun ke pasar tradisional di 6 daerah di Kabupaten Malang pada Selasa 22 Desember 2020 pagi. Untuk memastikan besaran harga kebutuhan pokok. Sekaligus mendengar keluh kesah para pedagang.
Di banding daerah lain di Malang. Harga kebutuhan pokok atau yang lazim disebut sembilan bahan pokok (sembako) cenderung tinggi. Dari 13 komoditi yang kami cari informasinya, Mahulu unggul di sembilan komoditi dalam rangking harga termahal. Untuk setiap komoditi yang sama di pasar tradisional daerah lain. Cukup menggambarkan betapa tingginya biaya hidup di kabupaten Malang ini.
Meski terbilang mahal, namun jelang akhir tahun ini. Mayoritas kebutuhan pokok tidak mengalami kenaikan harga secara drastis. Cenderung stabil untuk ukuran Jawa Timur.
Di dua pasar tradisional di Kabupaten Malang, yakni Pasar Gadang dan Pasar Karangploso, Kecamatan Karangploso. Hanya bawang merah saja yang mengalami kenaikan harga.
“Semula Rp 50 ribu, sekarang menjadi Rp 55 ribu,” jelas Ngatini (33), yang merupakan warga Kecamatan Karangploso, dan mengaku sudah 4 tahun berdagang sayur dan sembako di Pasar Karangploso.
Ngatini bercerita, baru beberapa waktu ke belakang saja dagangannya lumayan laku. Karena sejak pandemi dan adanya imbauan untuk social distancing. Pembeli turun drastis. Di Malang, sempat berkurang 50 persen. Namun begitu, Ngatini dan sesama pedagang Pasar Ujoh Bilang tetap menggelar lapaknya.
Pikiran mereka sederhana. Selain hidup mereka harus terus disambung. Pasar harus tetap buka. Karena jika sampai tutup semua, maka dampak ekonomi di Malang akan semakin parah. Untungnya seiring waktu, penjualan kini mulai beranjak naik seiring penerapan kebiasaan baru.
“Syukur sekarang pembeli mulai kembali seperti sebelum COVID-19. Saya mengambil sayur dan sembako dari Pujon Kalau tidak ada pembeli, modal tidak akan kembali,” ungkap Ngatini.
Ngatini yang merupakan perantauan dari luar Malang itu mengaku. Saat kondisi normal, hasil dagangnya terbilang lumayan besar untungnya. Namun saat pandemi menyerang, keuntungannya turun jauh. Ia pun harus putar otak agar persediaan barangnya tetap aman.
“Saya mendatangkan barang dengan sistem bon (utang) dulu. Setelah barang laku terjual baru saya transfer setor ke Petani. Mudah-mudahan COVID-19 segera hilang,” harapnya.
Tak beda dengan yang diungkapkan Adi (27). Yang berdagang sembako dan sayur tepat di depan pintu masuk Pasar Gadang. Keluhannya pun sama, penjualan sempat sangat sepi karena pandemi. Ia pun sempat menguras tabungan untuk tetap mempertahankan usahanya itu.
Lantaran lapak yang ia bangun sendiri itu berdiri di atas tanah sewaan yang tetap harus dibayarkan per bulan. Sementara dagangan tak banyak terjual. Berbagai siasat pun terpaksa dilakukannya. Seperti tidak berspekulasi menjual komoditi yang jarang dicari pembeli.
“Saya yakin pasti dapat rejeki, Pak. Saya sewa tanah ukuran 4 meter x 12 meter per bulan Rp 3 juta. Saya bangun sendiri kios ini. Nah apabila pandemi cepat hilang, akan banyak pembeli,” ujarnya.
Salah satu yang membuat Adi tetap bertahan berjualan sembako adalah karena Pasar Gadang ini posisinya sangat strategis. Karena berada di kawasan sentrak ekonomi. Jadi persinggahan warga dari dan keluar kabupaten juga. Sehingga apabila kondisi sudah normal, peluang untuk meraup cuan besar bisa terjadi lagi.
“Untuk harga sembako dan kebutuhan pokok lainnya tidak ada yang mengalami kenaikan tinggi. Meski mendekati Natal dan Tahun Baru, semua masih stabil,” ucapnya.