Tak ada bekas kejayaan mega korporasi kulakan rempah pertama di dunia itu, kecuali sebuah logo VOC berukuran kecil terpampang di atas pintu masuk utama. Kini menjadi bagian dari gedung Fakultas Ilmu Budaya Universitas Amsterdam.
Amsterdam – Sekitar awal 2000, saya berkesempatan berkunjung ke Belanda. Tepatnya ke Hilversum, yang berjarak sekitar 34 kilometer dari Amsterdam, atau sekitar setengah jam berkendara ataupun menumpang kereta. Kebetulan saya, yang saat itu bekerja di sebuah media berita terkemuka di Indonesia, melawat ke kantor Radio Netherland Siaran Indonesia atau Ranesi di Hilversum.
Hilversum yang rimbun ini adalah kota kecil berpenduduk sekitar 80 ribu jiwa, dan merupakan ‘kota media’ karena nyaris semua stasiun televisi dan radio berkantor di sini. Suatu ketika, selepas urusan di Radio Nederland Wereldomroep, begitu orang Belanda mengenalnya, saya diajak berjalan-jalan ke Amsterdam. Berbeda dengan Hilversum, Amsterdam kota ramai sebagaimana kota metropolitan pada umumnya.
Amsterdam adalah ibu kota Belanda sekaligus kota terbesar di Belanda. Posisi Amsterdam saat ini sebagai ibu kota Kerajaan Belanda diatur oleh konstitusi 24 Agustus 1815 dan penerusnya. Setelah menumpang kereta selama sekitar 20 menit akhirnya saya dan Joss Wibisono, penyiar senior Ranesi (RNW) tiba di Stasiun Centraal, pusat transportasi utama (kereta) di Belanda.
Dari sana Kami menyusuri Jalan Prins Hendrik Centrum, sebuah kawasan perumahan eks para pedagang dan orang kaya Belanda jaman baheula yang berada jalanan kecil dan kanal-kanal. Saya ditawari Joss naik gondola menyusuri kanal. Walhasil, kami berdua menumpang gondola menyusuri kanal yang airnya jernih sejernih kaca. Kanal-kanal itu hingga kini merupakan jalur wisatawan yang ingin melihat-lihat Amsterdam.
Usai menyusuri kanal, saya menuju sebuah kawasan yang amat populer di Belanda, juga dunia: Red Light District atau Kawasan Lampu Merah. Boleh dikata, kawasan ini adalah kawasan ‘surga dunia’. Maklum saja, kawasan ini terkenal sebagai kawasan wisata dewasa. Anda bisa mendapati rumah bordil, menikmati pertunjukan seks atau tari erotis sembari menghisap ganja secara legal. Di sini dijual aneka aksesoris seks.
Di kawasan ini masih kokoh berdiri rumah-rumah tua milik orang kaya di Belanda yang dibangun pada abad pertengahan dengan arsitektur klasik yang khas: bata ekspos atau kayu papan berbentuk kubus dengan atap pelana. Boleh dikata, inilah kawasan paling bersejarah tempat para pelaut mencari kehangatan sebelum berlayar melintasi samudera dengan kapal-kapal VOC guna mencari rempah-rempah di ujung bumi.
“Itu gedung yang dibangun dari uang rakyat Indonesia (Hindia Belanda),” kata Joss seraya menunjuk sebuah gedung berwarna coklat mirip Museum Fatahillah di kawasan Kota, Jakarta. “Belanda kaya karena rempah-rempah.” Bangunan yang dimaksud itu adalah bekas markas Perusahaan Hindia Timur Belanda, secara resmi bernama Persatuan Perusahaan Hindia Timur atau VOC.
VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie atau di Indonesia dikenal dengan istilah kompeni atau kumpeni merupakan persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula Geoktrooieerde Westindische Compagnie (company) yang merupakan persekutuan dagang untuk kawasan Hindia Barat.
Berdiri pada 20 Maret 1602, VOC kerap disebut sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia, sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham. Salah satu pemegang saham VOC terbesar adalah Isaac Le Maire, seorang pengusaha dan investor keturunan Yahudi asal Waloni– sekarang dikenal sebagai Belgia.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah persekutuan badan dagang biasa, tetapi memiliki keistimewaan karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas serta hak-hak istimewa (octrooi). Misalnya VOC boleh memiliki tentara, memiliki mata uang, bernegosiasi dengan negara lain hingga menyatakan perang. Banyak pihak menyebut VOC sebagai negara di dalam negara.
Seperti dikutip situs berita Tirto.id, setelah menguasai Batavia pada 1602, kiprah VOC di Nusantara, sebagai negeri penumbuh rempah-rempah, perniagaan tanaman bumbu itu mulai memicu banyak konflik hingga pertumpahan darah. Bahkan, terus-menerus memerangi bangsa lain serta menyulut api permusuhan di Maluku demi memonopoli dan mengeksploitasi rempah-rempah sebagai komoditas ekonomi.
Indonesia sejak masih dikenal sebagai Nusantara atau Hindia Belanda merupakan negeri yang memiliki sumber daya alam melimpah. Salah satu hasil kekayaan alam Indonesia adalah rempah-rempah, yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan, jamu, dan pengobatan herbal. Di Eropa, saat musim dingin tiba, rempah-rempah juga dimanfaatkan sebagai bahan pengawet makanan dan penghangat tubuh.
Walhasil, rempah-rempah pernah menjadi komoditas paling dicari bangsa-bangsa Eropa. Pencarian rempah-rempah oleh bangsa Eropa mendorong lahirnya penjajahan di Nusantara. Pasalnya, rempah-rempah yang dibutuhkan bangsa Eropa sebagian besar terdapat di Indonesia. Jenis rempah-rempah yang dicari orang Eropa adalah cengkeh, pala, dan lada, yang nilainya sempat melebihi logam mulia seperti emas.
Seiring dengan berkuasanya maskapai dagang Belanda (VOC) sejak awal abad ke-17 dengan memusatkan perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya di Indonesia, membuat VOC menjadi perusahaan dagang paling kaya di dunia saat itu. Kekayaan rempah-rempah yang dimiliki Indonesia saat itu telah mendorong bangsa Eropa melakukan penjajahan atau kolonialisme di Indonesia.
Di gedung yang bertetangga dengan kawasan Lampu Merah inilah, VOC memusatkan urusan administrasi dan seluruh aktivitas: rekrutmen pegawai, gudang penyimpanan, rumah lelang, perpustakaan arsip dan peta, hingga tempat para pemilik saham dan eksekutif VOC menggelar rapat-rapat atau pertemuan. Gedung ini merupakan bangunan pertama yang didirikan khusus untuk kegiatan VOC.
Awalnya, bangunan ini berfungsi sebagai kantor pusat kamar dagang Amsterdam (Kamer) dari VOC. Lalu kamar dagang Amsterdam memperluas dengan mengambil bagian dari depot senjata dan amunisi di kanal Kloveniersburgwal pada 1603 untuk dijadikan gudang, dan dua tahun kemudian, VOC membeli seluruh bangunan yang tersedia. Kendati begitu, tak ada ruang pertemuan dan ruang kantor yang tersedia. Manajemen kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gedung baru.
Bangunan baru itu mengambil tempat di sebelah depot amunisi dan senjata, yang siap pada 1606. Bangunan itu terletak di tempat kebun tua. Pada 1633-1634 sayap barat diperpanjang dan sayap utara dibangun, meninggalkan bangunan yang juga bersebelahan dengan Jalan Oude Hoogstraat. VOC yang kaya raya itu kemudian memperluas lagi kantornya di Amsterdam antara 1658 dan 1661.
Menyusul kebangkrutan VOC pada 1798, gedung ini kemudian dipakai sebagai markas Republik Batavian. Pada 1891 depot itu dibongkar diganti dengan bangunan di sayap timur yang didesain oleh Cornelis Peters. Pada 1976, bangunan itu dipulihkan dan ruang rapat besar ditata ulang. Kendati begitu, tak ditemukan sebuah penanda khusus di bagian luar bangunan bahwa di gedung inilah dimulai sejarah penting dalam pembangunan kemakmuran Belanda.
Sebuah gedung mega korporasi yang memonopoli kulakan rempah di dunia. Tak nampak sisa-sisa kejayaan itu kecuali sebuah logo VOC berukuran kecil terpampang di atas pintu masuk utama. Kini kantor pusat VOC itu menjadi bagian dari gedung Fakultas Ilmu Budaya Universitas Amsterdam (Universiteit van Amsterdam), universitas riset terlengkap di Belanda.
Andre Priyanto, Jurnalis Senior & Penikmat Sejarah