Menelisih Kerukunan, Pandangan Lingkungan, Hingga Kematian, Suku Tengger
Warga Desa Ngadas menggelar prosesi upacara Entas-entas di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (17/12/2020). Ngadas merupakan salah satu diantara 36 desa Suku Tengger, terletak di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Upacara Entas-entas dimaksudkan untuk menyucikan roh atau adma orang yang sudah meninggal agar mendapatkan tempat yang lebih baik. Entas dari bahasa jawa yang berarti mengangkat.Penduduk desa Ngadas hidup rukun dan masih memegang teguh adat istiadat Tengger meski memiliki tiga keyakinan agama yaitu Budha, Islam dan Hindu 10 persen.Kuatnya pengaruh adat Tengger disebabkan pandangan masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di lingkungan mereka
Karyo Selamet (36), terlihat senang siang itu. Selain karena bisa berkumpul dengan rekan dan keluarganya diatas panggung, ia juga merasa beruntung berkesempatan untuk mengikuti rangkaian prosesi upacara Entas-entas di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (17 /12 /2020). Ngadas merupakan salah satu diantara 36 desa Suku Tengger, terletak di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Bagi warga Ngadas, pelaksanaan upacara Entas-entas secara khusus yaitu untuk menyucikan roh atau adma bagi orang yang sudah meninggal dunia. Atau sebagai upaya untuk memperingati kematian keluarga yang tiada agar arwahnya bisa mendapatkan tempat yang lebih baik. Ritual adat ini, dilaksanakan pada hari yang ke-1000 atau minimal pada hari ke-44 setelah keluarga ada yang meninggal. Istilah Entas-entas berasal dari bahasa Jawa, yaitu entas yang berarti mengangkat.
Pertanian dengan latar belakang Gunung Semeru di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Masyarakat Tengger masih memegang teguh adat istiadat seperti menjaga hubungan mereka dengan lingkungannya. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia
Untuk melakukan upacara ini, berbagai keperluan dipersiapkan, diantaranya adalah kain putih, bebek, cepel, cobek, beras, kulak. Selain itu, juga menyediakan sebuah boneka yang diberi nama Petra, sebagai tempat kembalinya roh atau adma. Adapun pembuatan boneka itu menggunakan bahan dedaunan dan bunga, kemudian nantinya akan disucikan oleh pemuka adat. Masing-masing benda yang digunakan sebagai sarana upacara tersebut mempunyai makna tersendiri bagi warga Ngadas.
Ada beberapa tahapan prosesi yang dilakukan, diantaranya yaitu, mengisi kulak atau bumbung yang terbuat dari bambu itu dengan beras. Kemudian, semua keluarga kumpul dibawah kain putih panjang yang dibentangkan oleh dukun setempat. Setelah itu, dilakukan prosesi Entas-entas. Inti dari upacara ini, bagi warga Ngadas yaitu untuk mengembalikan manusia kepada unsur alaminya, yaitu tanah, kayu, air dan panas.
Adma atau roh yang dientas diwakili oleh orang yang masih hidup, meskipun itu tidak ada hubungan saudara. Adapun salah satu persyaratan warga yang mau mewakili adma tersebut tidak boleh memakai baju, untuk yang perempuan diharuskan memakai kemben, atau pakaian tradisional pembungkus tubuh wanita yang secara historis umum ditemui di daerah Jawa dan Bali. Karena dalam pandangan warga Ngadas, orang yang sudah meninggal itu tidak memakai baju ataupun lainya.
Mereka yang mewakili adma itu kemudian dipayungi dengan menggunakan kain berwarna putih, diantaranya adalah anak-anak, muda maupun dewasa. Mereka kemudian diberikan mantra oleh dukun. Setelah itu, semua Petra dibawa ke tempat pembakaran untuk di sempurnakan.
Sebagian masyarakat Ngadas mengikuti upacara Entas-entas. Pelaksanaan upacara ini secara khusus untuk menyucikan roh atau adma orang yang sudah meninggal dunia. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia
Kerukunan
Penduduk desa Ngadas sebanyak 2.026 jiwa, memiliki tiga keyakinan agama yang dipeluk. Diantaranya pemeluk agama Budha sebesar 50 persen, agama Islam 40 persen dan agama Hindu 10 persen. Ada tiga masjid, satu pura dan satu vihara di desa ini untuk warga menjalankan ibadah masing-masing.
Di desa Ngadas masyarakatnya dianggap masih memegang teguh adat istiadat kehidupan lebih plural. Joko Tri Haryanto, peneliti dari Balai Peneliti dan Pengembangan Agama Semarang, melalui jurnalnya, menjelaskan, walau di Ngadas terpolarisasi dalam banyak agama, namun masyarakatnya tetap taat dan tunduk pada adat Tengger.
Dia melanjutkan, kuatnya pengaruh adat Tengger juga disebabkan oleh pandangan masyarakat yang cukup kuat terhadap kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di lingkungan mereka. Kerukunan beragama terwujud dalam praktik-praktik keseharian di masyarakat. Hal tersebut, menurut Joko, juga bisa dilihat dari spasial atau hunian pemukiman ynag tidak ada pembagian khusus berdasarkan agama. Semua umat beragama membaur dan hidup berdampingan.
Senetram (tengah), dukun muda suku Tengger desa Ngadas saat akan melakukan pembacaan mantra sebelum prosesi upacara Entas-entas. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia
Selain itu, kata dia, kondisi kerukunan ini terwujud dalam praktik-praktik sosial masyarakat Desa Ngadas yang masih menyelenggarakan bermacam tradisi, seperti tradisi sayan (undang), gantenan dan genten cecelukan (saling bergantian membantu, dan gantian mengundang makan), tradisi nyelawat (salawatan) atau nglayat apabila ada musibah kematian.
Dalam hal kerjasama, menurut Joko, masyarakat desa Ngadas biasa melakukan kerjasama dalam bidang pertanian maupun peternakan dengan sistem paron atau pertigaan. Dia menilai, hubungan sesama maupun antar umat beragama berjalan dengan baik karena adanya sikap toleransi dalam bermasyarakat dengan baik yang didasari dengan nilai-nilai budaya Tengger.
“Hal ini menandakan tidak ada persoalan dalam perbedaan agama, dan rasa kebersamaan sebagai warga Tengger sangat kuat mendukung terwujudnya kerukunan ini,” jelasnya dalam artikelnya yang berjudul ‘Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama Pada Komunitas Tengger Malang Jatim’.
Selain itu, adanya upacara-upacara adat seperti Entas-entas, Karo, Unan-Unan dan Yadya Kasada juga menambah jalinan tali persaudaraan masyarakat Ngadas, mereka berbaur menjalankan upacara adat itu bersama-sama.
Masyarakat Ngadas saat mengikuti rangkaian acara Karo. di Ngadas walau terpolarisasi dalam banyak agama, namun masyarakat Ngadas tetap taat dan tunduk pada adat Tengger. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia
Pandangan Lingkungan
Sifat umum di dalam kehidupan sehari-hari orang Ngadas mempunyai kebiasaan hidup guyub-rukun. Selain itu, juga mempunyai pandangan lain tentang alam. Robert W. Hefner, dalam bukunya ‘Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik’, menjelaskan, diantara adat istiadat Tengger yang harus dijalankan adalah bagaimana menjaga hubungannya dengan lingkungan, yang digunakan untuk keperluan hidup mereka dalam sehari-hari.
Sebagai masyarakat yang tinggal di pegunungan, masyarakat Tengger Ngadas memiliki ketertarikan dengan lingkungan sangat tinggi, yang hal ini dicermati lewat homogenitas pekerjaan mereka sebagai petani pegunungan yang sangat tergantung pada tanah, tanaman, binatang (ternak), cuaca, dan air, serta hutan untuk memenuhi kebutuhan penunjang mereka.
Kebanyakan pekerjaan masyarakat Ngadas adalah petani. Ladang-ladang mereka berada di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit. Alat pertanian yang digunakan juga sederhana, yaitu cangkul, sabit dan semacamnya. Adapun untuk hasil pertaniannya adalah kentang, kubis, bawang prei, wortel, dsb.
Masyarakat Ngadas mengikuti upacara Karo. Upacara ini merupakan perayaan besar bagi masyarakat setempat, sebagai bentuk wujud syukur atas berkah yang diberikan Tuhan sepanjang tahun. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia
Atas persepsinya tentang alam, cara masyarakat Tengger Ngadas menyelaraskna diri dengan alam, antara lain adalah melalui kepatuhannya terhadap nilai-nilai adat istiadat yang dimanifestasikan melalui ketaatan terhadap norma-norma hukum (adat) dan norma-norma sosial, dan pelaksanaan terhadap upacara-upacara adat sebagai penghormatan kepada Tuhan Pencipta dan para roh leluhur, roh penjaga desa.
Menurut Sutarto, dalam disertasinya, menambahkan, pelanggaran terhadap itu semua akan menimbulkan gangguan, yang berupa wabah penyakit, bencana alam, kelaparan, gagal panen, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, pelanggaran terhadap adat istiadat (yang bermuara pada perusakan alam) akan mendapat reaksi keras dari anggota masyarakat. Persepsi ini kemudian memunculkan perilaku kearifan lingkungan.
Perilaku kearifan lingkungan yang dilakukan masyarakat Tengger juga di teliti Purnawan D. Negara, dalam jurnalnya tentang Kearifan Lingkungan Tengger dan Peranan Dukun Sebagai Faktor Penentu Pelestarian Lingkungan Tengger Pada Desa Enclave Ngadas, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru: Suatu Tinjauan Hukum, antara laiin perlakuannya terhadap tanah. Masyarakat Ngadas tidak menjual tanah untuk orang diluar wilayahnya.
Terhadap hutan, adanya larangan menebang pohon di hutan dengan sanksi menebang 1, menanam 100. Hal ini juga berlaku untuk sumber mata air dengan tidak merusak kawasan sekitar, dan tidak akan mengkomoditaskan sumber air tersebut di pakai desa lain. Selain itu masyarakat Ngadas juga melakukan intropeksi diri atas perilakunnya terhadap lingkungan lewat pelaksanaan upacara-upacara adat secara konsisten, seperti Kasada, Karo, Unan-unan, Pujan Mubeng, Barikan dan Leliwet.
Hasil pertanian masyarakat Desa Ngadas adalah kentang, kubis, bawang prei, wortel, dsb. Ngadas merupakan salah satu dari 36 desa Suku Tengger. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia