Malang, (DesaNews.ID) – Sikap hidup selaras dengan alam, pengalaman yang panjang dan berbagai cerita turun-temurun membuat masyarakat Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, memahami setiap “desah napas” Gunung Kawi.
Hal itulah yang membuat mereka sampai saat ini bisa hidup harmoni di tengah ancaman pandemi Covid 19.
Kebudayaan atau kearifan lokal dan ilmu pengetahuan menjadi mitigasi yang digunakan masyarakat hingga saat ini.
Hingga setelah terniang jelas tapak tilas penghuninya, muncul istilah living in harmony with disaster.
“Pada dasarnya setiap masyarakat itu punya kearifan lokal sendiri-sendiri, termasuk di tempat saya tinggal,” ujar Indra Baskoro Adi warga Dusun Tulungrejo, RT 03/RW 02, Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Rabu (23/12/2020).
Indra menyampaikan desa tempatnya tinggal berada di Lereng Gunung Kawi.
Jaraknya sekitar 5 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Di tempat tinggalnya terdapat empat RT yang dihuni 500 jiwa dari 182 Kepala Keluarga (KK).
Masyarakat di desanya menganggap Gunung kawi sebagai orang tua, yang hidup dan mempunyai napas.
Ketika Gunung Kawi mulai terlihat keanehanya dan meningkat, warga masyarakat memaknai jika “eyang” sedang mempunyai hajat.
Tidak hanya di desanya, tetapi sekitar Lereng kawi sisi selatan juga mempunyai kearifan lokal yang sama.
Ketika Merapi kebakaran, dimaknai oleh masyarakat Kawi sedang punya “gawe”.
“Memaknai itu artinya, kalau orang dekat pasti paham, simbah lagi punya hajat atau punya gawe. Nah, gawene arep metu ngendi, apakah metu kulon opo kidul? tandane opo,” ucapnya.
Salah satunya pengalaman yang dialami oleh ayah mertuanya pada 1994. Saat itu ayah mertuanya dalam mimpi didatangi oleh seseorang.
Orang tersebut menyampaikan pesan dengan bahasa Jawa kepada ayah mertuanya.
Pesan tersebut kurang lebih, memberitahu sekitar 10.30 siang, Eyang Sapu Jagat Kawi mau sowan ke Nyi Loro Kidul melewati Sungai Boyong.
Orang tersebut meminta agar warga masyarakat menyingkir terlebih dahulu.
“Arti dari pesan itu, guguran tanah longsor itu bisa mengarah ke Sungai Boyong, nah supaya selamat bergeser ke arah barat dahulu,” ungkapnya.
Sejak saat itu, ketika Gunung kawi akan longsor, ayah mertuanya pasti mendapat mimpi. Orang yang datang dalam mimpi juga sama.
“Orangnya sama, memakai lengan panjang, celana panjang memakai keris, memakai ikat gadung melati,” ungkapnya.
Sebelum terjadi tanah longsor 1994, ayah mertuanya melihat benang putih “Nglawer“.
Ternyata itu menjadi tanda batas wilayah yang akan dilewati banjir bandang.
“Sadar itu setelah lonsoran, ternyata benang putih yang dilihat itu batas tanah longsoran Gunung kawi. Makanya kepekaan membaca tanda, ini ada tanda, ini akan ada apa?” bebernya.
Masyarakat di Dusun Tulungrejo juga mengenali tanda-tanda aktivitas Gunung Kawi dari suara kijang.
Jika ada warga masyarakat yang mendengar suara kijang, maka tanda Gunung Kawi akan Terbakar.
“Di kampung saya juga ada kesepakatan kalau ada suara kidang (kijang), itu (artinya) ada dua, bisa warga lokal ada yang meninggal, bisa juga dalam kurun waktu tertentu longsor,” urainya.
Suara kijang tersebut biasanya berasal dari arah timur Bukit kelet, atau sisi barat daya Gunung kawi dari Dusunnya.
“Itu hanya suara, tapi pertanyaan saya kidang itu benar kidang tenanan (benar hewan) atau kidang-kidangan (bukan kijang yang sebenarnya). Suaranya itu kadang pagi, kadang sore, kadang juga malam, selepas benar atau tidak itu kuasa Yang Maha Kuasa,” pungkasnya,
(Ardy)